Sabtu, 30 Agustus 2014

Permata Terpendam Itu Bernama Argopuro (via Baderan-Bermi)


Selasa, 29 Juli 2014

Melangkah lebih jauh dan lebih jauh, menggapai eksotisme Rengganis

Berawal dari rasa penasaran akan keindahan gunung Argopuro dengan panjangnya jalur yang harus dilalui, sampai akhirnya tiba kesempatan untuk saya mengunjungi tempat persemayaman Dewi Rengganis. Gunung Argopuro belum sepopuler Semeru, gunung yang selalu menjadi dambaan para pendaki, tapi berdasarkan pengalaman seorang teman Argopuro lebih indah dari Semeru. Iya kah?

Perjalanan dimulai dari suasana Idul Fitri yang masih kental di rumah saya, rumah orang tua saya tepatnya. Pukul 10:00 saya meninggalkan rumah untuk kemudian pergi ke terminal bis Kota Sukabumi agar bisa naik bis jurusan Bandung untuk bisa meneruskan perjalanan ke stasiun Surabaya Gubeng melalui stasiun Bandung dengan menaiki KA Mutiara Selatan. Perjalanan Sukabumi-Bandung yang biasanya hanya ditempuh 2,5 s.d. 3 jam kini harus ditempuh sekitar 7 jam lebih, dikarenakan macet di daerah Cipatat, Cianjur dan Rajamandala, Kabupaten Bandung Barat. Jadwal KA yang berangkat pukul 16:00 sudah pasti tidak bisa saya kejar. Saya pun tiba di Bandung sekitar pukul 18:00. Setiba di terminal Leuwi Panjang, Bandung, saya mencari warnet untuk mencari penerbangan paling pagi keesokan harinya ke Surabaya. Alhamdulillah dapat tiket yang tidak terlalu mahal. Kemudian saya mencari homestay untuk mengistirahatkan badan yang sudah lelah. Saya mendapat homestay masih di sekitaran terminal Leuwi Panjang, saya pun tidur untuk agar bisa bangun keesokan harinya.


Rabu, 30 Juli 2014

Pukul 03:40 saya sudah bangun, mandi, meninggalkan homestay untuk lalu pergi ke bandara Husein Sastranegara untuk memenuhi hak saya yang sudah beli tiket terbang ke bandara Juanda, Surabaya. Tiba di bandara Juanda, ambil keril, keluar bandara lalu naik bis bandara ke terminal Bungurasih dilanjutkan dengan naik bis kota ke stasiun Pasar Turi untuk bertemu dengan kawan2 yang sudah menunggu. Saya pun berkenalan untuk memperkenalkan diri agar dikenal bukan untuk terkenal.Dari anggota tim ini, hanya dua orang yang saya kenal sebelumnya, yaitu Bang Joseph dan Mba Nora, sang pelengkap yang tiba terakhir di Stasiun Pasar Turi.Sisanya adalah Mba Ade dari Jakarta, Mba Amel dari Malang, Mas Danny, Mas Donny, Mas Dueng, Mas Jejah, Mas Gedex, Mas Hanafi, Mas Yosep, Mas Tantra, Mas Bayu, dan Mas Ronald yang semuanya dari Surabaya.

Pukul 10:30 semua anggota tim sudah berkumpul, pukul 11:00 elf yang kami sewa meninggalkan stasiun Pasar Turi dengan cara berputar keempat rodanya melalui sebuah mesin yang menggerakan mereka. Tujuan kami adalah basecamp pendakian Argopuro di desa Baderan, Situbondo. Setelah melalui perjalanan kurang lebih 6 jam yang diselingi makan siang, pukul 16.30 kami tiba di resort BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Baderan. Proses registrasi pendakian disini tidak terlalu sulit, hanya melapor nama-nama anggota tim serta membayar biaya pendakian, total ber-15 kami membayar Rp. 80.000 padahal seharusnya Rp. 150.000 (@Rp. 15.000/orang) tapi mungkin si bapa penjaga basecamp sedang baik hati atau mungkin uang THR nya masih banyak, sehingga kami dapat diskon. Sebelum memulai pendakian kami meminta untuk dicarikan 1 orang porter untuk penunjuk jalan dan sekaligus meringankan berat bawaan kami. 15 menit menunggu, porter yang akan kami sewa datang, dipindahkan-lah barang-barang kami yang akan dibawa si bapa porter, kebanyakan adalah bahan makanan kami selama 5 hari 4 malam kedepan. Semua telah selesai, dengan tidak lupa diawali oleh doa.



BKSDA Baderan

Pukul 17:15. Dua belas pasang kaki laki-laki dan tiga pasang kaki perempuan ditambah sepasang kaki seorang porter, Bapak Ma'ruf mulai meniggalkan pos BKSDA Baderan. Kami ber-enambelas memulai pendakian di Gunung Argopuro, tempat persemayaman Dewi Rengganis.

Belum jauh melangkah, kami dihampiri ibu-ibu paruh baya yang menyalami kami dan memberi isyarat, mungkin ibu ini bisu, entahlah. Dia memberi isyarat dengan kedua tangannya.

“Menunjuk kepada saya (mungkin maksudnya: Kamu!)”
“Menunjuk arah pendakian (disana)”
“Menempelkan kedua tangan di sebelah pipi (tidur)
“Membelah dada(dibunuh?)”

Saya menangkap isyarat itu, maksudnya “Kamu kalau tidur di sana nanti dibunuh”. Mungkinkah? Mungkin si ibu ini cuma bercanda? Saya tidak tahu arti persisnya, tapi yang jelas kami tetap meneruskan perjalanan. Wallahualam dengan isyarat si ibu itu.


Pemandangan diawal jalur pendakian

Menjelang gelap, jalur yang kami lewati masih berupa perkebunan warga dengan medan yang cukup landai berupa jalan setapak dari batu-batu yang sudah disusun. Malam mulai menyapa ketika kami memasuki hutan. Bunyi tonggeret bersahutan disekeliling. Selepas 1 jam memasuki hutan, kami beristirahat sejenak untuk makan makanan yang sebelumnya sudah kami beli di warung sekitar kantor BKSDA Baderan. Beberapa kawan makan satu bungkus nasi untuk berdua dan beberapa lagi ada yang memutuskan untuk tidak makan dan lebih memilih tidur sejenak. Mungkin mereka lelah, dan sayapun.

Nafas mulai terasa berat ketika hutan yang kami lalui mulai menanjak setelah beristirahat tadi. Beberapa kali kami beristirahat sejenak ketika menemui lahan yang landai. Jalur terus bervariasi antara tanjakan dan jalur landai membelah hutan sampai akhirnya sekitar pukul 10:00 kami tiba di “pintu masuk” menuju alam Dewi Rengganis, dua buah pohon yang membentuk huruf V terbalik, kira-kira begitu menurut beberapa catper yang saya baca. Dari sini, 1 jam kemudian kami tiba di pos Mata Air 1, sebuah dataran yang tidak terlalu luas dan sudah dipenuhi oleh pendaki lain yang tiba lebih dahulu, akhirnya kami mendirikan tenda di jalur pendakian yang juga sebenarnya sudah banyak berjajar tenda.

Sebuah kejadian tidak mengenakan terjadi disini, frame tenda milik Mas Tantra patah ketika akan disusun, itu artinya tenda berkurang satu. Dan tenda-tenda yang kami bawa akan overcapacity, dan benar saja, tenda yang harusnya diisi 4 orang, kami isi 5 orang. Tenda yang harusnya diisi 3 orang, kami isi 4 orang. Tapi tak apalah, semakin rapat semakin hangat.

Kamis, 31 Juli 2014

Mata terbuka mengawali hari saya di gunung dengan jalur terpanjang di pulau Jawa ini. Saya kemudian keluar tenda untuk melamun sejenak di samping kawan-kawan lain yang sedang sibuk akan masak. Setelah nyawa saya terkumpul semua, saya dan Mas Bayu mengambil air, mata air ada di sebelah kiri jalur pendakian, turun ke bawah tidak terlalu jauh ada sebuah sungai kecil yang jernih, disini kami mengisi beberapa botol air dan sekaligus membersihkan diri,kemudian kami kembali ke pos Mata Air 1 untuk membantu teman-teman yang lain yang sedang masak, saat itu saya membantu menghabiskan kerupuk usus agar cepat habis. Sambil ngobrol menunggu makanan matang kami menunggu masakan matang sambil mengobrol. Setelah makanan matang, tentu saja kami makan, karena lapar dan karena akan mubazir makanannya jika tidak dimakan.


Pos Mata Air 1


Pos Mata Air 2

Pukul 10:30 kami melanjutkan perjalanan mendaki Argopuro dengan tujuan selanjutnya adalah Cikasur. Cikasur itu seperti tempat yang ada di mimpi saya dulu yang sering beberapa kali saya mimpikan, sebuah savana luas dengan 1 pohon di tengah-tengahnya. Tidak sabar rasanya melihat tempat yang ada dimimpi dan akan terlihat langsung di depan mata. Maka sayapun langsung bergegas melangkahkan kaki, jalurnya cukup menanjak memasuki hutan yang tidak terlalu rapat, masih seperti jalur menuju pos mata air 1, pukul 12:00 kami tiba di pos Mata Air 2, istirahat sejenak disini dan mengisi persediaan air. Mata air 2 ada di sebelah camp ground, agak turun ke bawah sekitar 5 menit.


Alun-Alun Kecil

Pukul 13.00 kami, yaitu saya, Mba Amel, Mba Nora, Mas Hanafi, Mas Ronald, Mas Bayu, Mas Yosep dan Pa Ma'ruf yang merupakan rombongan terkahir tiba di alun-alun kecil, sebuah savana yang bagus tempat kami beristirahat sejenak sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Selepas Alun-Alun Kecil kembali memasuki hutan, setelah berjalan kurang lebih 1,5 jam dengan jalur yang naik turun lalu tiba di Alun-Alun Besar, kembali sebuah savana, tetapi lebih besar dari savana kecil, disini kami kembali beristirahat sambil menikmati keindahan panorama alam di sekitar. Ada sedikit kejadian aneh di alun-alun besar ini, saya dan sebagian kawan mendengar suara pesawat terbang, hal yang lazim tentunya, tapi ketika menengok ke atas, tidak ada pesawat terbang, hanya ada suaranya saja, padahal langitnya sedang cerah tanpa awan.


Alun-Alun Besar

Melanjutkan perjalanan dari alun-alun besar memasuki hutan dengan jalur yang cukup landai tetapi di hutan ini mulai banyak ditemui daun "jancukan" tanaman khas gunung Argopuro, konon jika kulit kita menyentuh dauin ini akan terasa panas seperti terbakar. Setelah keluar hutan kembali sebuah savana, lalu masuk hutan lagi, setelah keluar hutan kembali menemukan savana yang sangat luas, selepas keluar hutan, camp Cikasur sudah terlihat, lumayan jauh, semakin dekat dengan mimpi, saya lanjut berjalanan, berpisah dengan kawan-kawan yang masih asyik berfoto di savana sebelum hutan terakhir.


"Jancukan" 

Savana terakhir sebelum Cikasur 

Sungai Cikasur

Sebelum tiba di Cikasur, ada sebuah sungai, jernih airnya dan ditumbuhi selada air yang bisa dimakan, saya menyeberang sungai dengan agak susah karena beban yang berat, sebenarnya ada jalur yang tidak melintasi sungai, tapi tak apalah sudah terlanjur, tiba di seberang sungai jalur agak naik dan tidak berapa lama tibalah di Cikasur pukul 16.30. “Dream comes true”, tempat yang sangat indah, sebuah savana yang begitu luas, yang bagus, yang sangat bagus, yang sangat bagus sekali.

Disini rombongan pertama yang tiba terlebih dulu, sudah mendirikan tenda, baiknya mereka. Terima kasih. Malam hari yang diselingi gerimis kecil kami habiskan dengan makan masakan yang telah dimasak sampai matang dan juga tidak matang yaitu bubur kacang ijo yang tidak pecah walaupun sudah dimasak sekitar 2 jam dan menghabiskan sekitar 2 botol gas hi-cook. Sisanya ngobrol-ngobrol serta tidur dengan cara mata terpejam.

Jumat, 1 Agustus 2014




Cikasur

Terbangun dari tidur di pagi di Cikasur itu sangat luar biasa, suara burung merak saling bersahutan dari kejauhan, jika beruntung sebenarnya bisa saja dapat melihat langsung burung meraknya, tetapi kami tidak melihatnya saat itu, kurang beruntung.

Kami membersihkan alat masak dan membersihkan diri di sungai setelah sebelumnya kami sarapan pagi dan kemudian melanjutkan perjalanan. Tepat pada pukul 10:00 kami meninggalkan Cikasur. Jalur agak menanjak, di sepanjang jalan ada beberapa pohon besar yang tumbang yang lumayan menyulitkan, tapi masih bisa terlewati. Jalur selepas Cikasur masih keluar masuk hutan dan savana. Sekitar pukul 12:00 pos Cisentor sudah terlihat, disini saya kehilangan kacamata yang biasa saya pakai karena pada saat itu saya memegangya, tidak memakainya, entah kenapa bisa hilang, sampai tidak terasa. Tapi ditemukan kembali oleh Mba Nora yang berjalan tidak begitu jauh di belakang saya.

Pos Cisentor terletak di bawah dekat sungai yang airnya tidak terlalu jernih, ada sebuah gubuk di pos Cisentor ini, disini kami beristirahat makan mie puter, mie instan yang dimakan dengan cara diputar estafet bergiliran. Menunjukan rasa kebersamaan kami yang kuat.

Selesai beristirahat, kami melanjutkan perjalanan, medannya masih berupa savana dan masuk hutan yang tidak terlalu panjang sebelum tiba di Rawa Embik pada pukul 16:30. Disini diadakan rapat dadakan apakah akan melanjutkan perjalanan ke Savana Lonceng atau camp di Rawa Embik. Setelah melalui pertarungan ketat selama 90 menit di lapangan hijau, ditambah 2x15 menit perpanjangan waktu dan adu penalti maka diputuskanlah untuk lanjut ke Savana Lonceng agar ke puncak lebih dekat dengan catatan membawa air sebanyak-banyaknya dari Rawa Embik karena di Savana Lonceng sumber air cukup jauh. Setelah persediaan air dikira mencukupi tepat pukul 17:00 kami mulai lagi melangkah, kali ini saya berjalan di baris depan bersama dua kakak beradik, Mas Danny dan Mas Donny, Ma Jejah dan juga Mas Munif (a.k.a Mas Dueng).

Hari menjelang gelap ketika kami memasuki hutan tapi masih belum perlu menyalakan headlamp karena masih terlihat, di tengah perjalanan ada sebuah “hutan mini”. Sebuah hutan di tengah hutan, kumpulan bunga Edelweis yang pohonnya cukup tinggi dinaungi pohon-pohon besar di sekelilingnya, jalur pendakian pun berada di bawah-bawah bunga Edelweis tersebut. Kereeen!


Edelweis 

Hutan Edelweis

Jalur menanjak cukup terjal ketika akan keluar hutan, disini kami beristirahat sejenak. Jalur kembali menanjak dengan vegetasi yang mulai terbuka dan kembali ada sebuah savana, tidak terlalu jauh dari situ sudah berdiri beberapa tenda yang menandakan bahwa kami sudah tiba di Savana Lonceng bersamaan dengan datangnya gelap dan pukul 18:00, Savana Lonceng adalah sebuah percabangan jalur antara Puncak Rengganis, Puncak Argopuro, Jalur Baderan dan Jalur Bermi. Pa Ma'ruf, sang porter sudah menunggu di depan api unggun yang dia buat. Pukul 19:00 anggota tim sudah tiba semuanya, dan dengan selamat. Sebagian dari kami ada yang langsung tidur, ada yang memasak, ada yang menghangatkan diri dekat api unggun. Sungguh hari yang sangat lelah setelah menempuh perjalanan selama 8-9 jam.


Savana Lonceng dengan latar Puncak Argopuro

Sabtu, 2 Agustus 2014

Pagi hari adalah ketika saya bangun waktu itu. Pukul 06:00 semua anggota tim sudah bersiap ke Puncak Rengganis, Puncak pertama yang akan kami kunjungi, hanya butuh 15 menit kami sudah tiba di “Istana Dewi Rengganis”, sebuah puncak yang cukup berbeda dengan puncak-puncak lainnya. Reruntuhan bangunan yang katanya merupakan bekas bangunan istana Dewi Rengganis menjadi ciri khasnya, sangat unik.






Puncak Rengganis

Puncak Argopuro, sangat berbeda dengan puncak disebelahnya, puncaknya dipenuhi pohon-pohon cemara. Hampir tidak bisa melihat pemandangan sekitar di sini Dibutuhkan waktu yang sedikit lama untuk mencapai puncak Argopuro, sekitar 25 menit dari Savana Lonceng.



Puncak Argopuro

Sekembali dari puncak kami istirahat untuk memulihkan tenaga, dan juga sarapan yang sebenarnya terlalu siang. Pukul 12:00 kami meninggalkan Savana Lonceng, target selanjutnya adalah Danau Taman Hidup. Estimasinya sebelum gelap semua anggota tim harus sudah sampai di danau. Dari Savana Lonceng melewati savana lalu melewati punggungan gunung, jalur terus menurun ketika memasuki hutan lalu melewati padang ilalang yang sangat rapat sampai tiba di sebuah sungai yang sudah mengering. Jalur agak menanjak sedikit sebelum Cemoro Limo lalu kemudian kembali melewati punggungan gunung sebelum memasuki hutan lumut. Hutan lumut adalah sebuah hutan yang lebat, pohon-pohon disini batang dan rantingnya dipenuhi lumut, mungkin usia pohon-pohon disini sudah ratusan atau bahkan ribuan tahun. Di hutan lumut, kondisi cukup gelap, sinar matahari tidak bisa menyentuh tanah di hutan ini, kecuali di beberapa bagian. Hutan ini mirip dengan hutan-hutan para elf di novel fantasi. "A beautiful place to lost."




Hutan Lumut

Menjelang tiba di danau Taman Hidup, pohon-pohon sudah tidak berlumut lagi, dan sinar matahari mulai bisa menyapa, ada beberapa pohon besar yang tumbang dan mulai banyak percabangan jalan sampai pada akhirnya kami tiba di danau taman hidup pukul 03:10. Saya tiba bersama mas Danny, Mas Dueng dan Mas Jejah.

Untuk mengambil air ataupun membersihkan diri di danau Taman Hidup harus agak ke tengah dengan cara meniti jembatan kayu yang tipis, karena pinggiran danaunya berlumpur.

Tepat sebelum gelap semua anggota tim sudah tiba di danau, sesuai dengan estimasi. Malam hari di danau dihabiskan dengan bercengkrama menikmati suasana sejuk walaupun langit tidak terlalu cerah ketika itu.

Minggu, 3 Agustus 2014








Pagi hari di danau banyak dihabiskan untuk memasak, pesta, menghabiskan sisa logistik kami yang masih melimpah. Semua anggota tim berperan dalam sesi memasak kali ini, sebagian besar berperan mencicipi makanan, mungkin hanya Mas Danny dan Mba Nora yang benar-benar memasak, sisanya hanya “memasak”, termasuk saya.

Menjelang siang, kabut turun perlahan menyentuh permukaan air danau, menunjukan wajah Taman Hidup yang sebenarnya, begitu eksotis. Kesannya begitu mistis tapi tidak menakutkan.

Hari semakin siang, dan kabutpun semakin tebal. Pukul 12:00. Saya, Mas Dueng, Mas Jejah, Mas Tantra berangkat terlebih dulu bersama Pak Ma'ruf, untuk sekalian mengantar Pak Ma'ruf pulang, karena angkutan dari Bermi hanya ada sampai pukul 15:00. Jalur menuju Desa Bermi dari Danau Taman Hidup cukup jelas, jalur ini sering dilalui warga sekitar untuk memancing di danau, jalur ini pun bisa dilalui oleh motor. Jalur motor sedikit berputar-putar tapi turunannya tidak terjal, sedangkan jalur pendaki memotong kompas jalur motor sehingga sedikit terjal.



Perbatasan hutan dan perkebunan warga

Pukul 13:00 saya dan mas Tantra dan Pak Ma'ruf sudah tiba di perbatasan hutan dan perkebunan warga, ditandai oleh sebuah gubuk. Istirahat tidak terlalu lama disini, kami lalu melanjutkan perjalanan ke Desa Bermi, melewati ladang perkebunan warga dan rumah-rumah warga, tepat pukul 13:30 kami tiba di Desa Bermi.

Disini kami berpisah dengan Pak Ma'ruf, porter baik hati yang sudah membantu meringankan beban bawaan kami. Terima kasih Pak Ma'ruf.

5 hari tidak mandi akhirnya terbalaskan di desa Bermi, ada 2 kamar mandi umum disini, cukup bersih dan dingin airnya. Badan kembali segar akhirnya. Pukul 15:30 semua anggota tim sudah turun dengan selamat. Mengisi waktu menunggu elf yang akan menjemput kami habiskan dengan makan di warung di Desa Bermi dan santai-santai di depannya.

Selepas maghrib, elf jemputan sudah tiba, kami meniggalkan Argopuro dengan segala kenangannya. Perjalanan dari Bermi ke Surabaya dihabiskan dengan tidur karena kami semua sudah kelelahan, tapi supirnya tidak tidur karena tidak boleh. Sampai akhirnya secara tidak tiba-tiba kami tiba di Surabaya pada tengah malam. Sedih rasanya harus berpisah dengan kawan-kawan yang menyenangkan selama perjalanan. Tapi bagaimanapun itu adalah kenangan, kebersamaan dan kekuatan. 5 hari 4 malam di alam bebas adalah hal yang tidak mudah, tapi selalu ada tangan yang siap merangkul, yang siap membimbing, yang siap menuntun, yang siap berbagi. Bahwa dengan bersama segalanya terasa lebih berharga.

Argopuro lebih indah dari Semeru? Hmm... Argopuro lebih eksotis dari Semeru, lebih unik, sepanjang jalur pendakian banyak keragaman hayati yang disuguhkannya. Puncak Rengganis dan Puncak Argopuro memang tidak menawarkan gumpalan awan seperti gunung-gunung pada umumnya. Tapi Argopuro punya pesona tersendiri yang sangat sulit dituliskan hanya dengan sekadar kata-kata. Jika Semeru adalah permata yang sudah berubah menjadi perhiasan, maka Argopuro adalah permata yang masih terpendam, jauh dan sangat jauh di dalam perut bumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar