Selasa, 29 Juli 2014
Melangkah lebih jauh dan lebih jauh,
menggapai eksotisme Rengganis
Berawal dari rasa penasaran akan
keindahan gunung Argopuro dengan panjangnya jalur yang harus dilalui,
sampai akhirnya tiba kesempatan untuk saya mengunjungi tempat
persemayaman Dewi Rengganis. Gunung Argopuro belum sepopuler Semeru,
gunung yang selalu menjadi dambaan para pendaki, tapi berdasarkan
pengalaman seorang teman Argopuro lebih indah dari Semeru. Iya kah?
Perjalanan dimulai dari suasana Idul
Fitri yang masih kental di rumah saya, rumah orang tua saya tepatnya.
Pukul 10:00 saya meninggalkan rumah untuk kemudian pergi ke terminal
bis Kota Sukabumi agar bisa naik bis jurusan Bandung untuk bisa
meneruskan perjalanan ke stasiun Surabaya Gubeng melalui stasiun
Bandung dengan menaiki KA Mutiara Selatan. Perjalanan
Sukabumi-Bandung yang biasanya hanya ditempuh 2,5 s.d. 3 jam kini
harus ditempuh sekitar 7 jam lebih, dikarenakan macet di daerah
Cipatat, Cianjur dan Rajamandala, Kabupaten Bandung Barat. Jadwal KA
yang berangkat pukul 16:00 sudah pasti tidak bisa saya kejar. Saya
pun tiba di Bandung sekitar pukul 18:00. Setiba di terminal Leuwi
Panjang, Bandung, saya mencari warnet untuk mencari penerbangan
paling pagi keesokan harinya ke Surabaya. Alhamdulillah dapat tiket
yang tidak terlalu mahal. Kemudian saya mencari homestay untuk
mengistirahatkan badan yang sudah lelah. Saya mendapat homestay masih
di sekitaran terminal Leuwi Panjang, saya pun tidur untuk agar bisa
bangun keesokan harinya.
Rabu, 30 Juli 2014
Pukul 03:40 saya sudah bangun, mandi,
meninggalkan homestay untuk lalu pergi ke bandara Husein Sastranegara
untuk memenuhi hak saya yang sudah beli tiket terbang ke bandara
Juanda, Surabaya. Tiba di bandara Juanda, ambil keril, keluar bandara
lalu naik bis bandara ke terminal Bungurasih dilanjutkan dengan naik
bis kota ke stasiun Pasar Turi untuk bertemu dengan kawan2 yang sudah
menunggu. Saya pun berkenalan untuk memperkenalkan diri agar dikenal
bukan untuk terkenal.Dari anggota tim ini, hanya dua orang yang saya
kenal sebelumnya, yaitu Bang Joseph dan Mba Nora, sang pelengkap yang
tiba terakhir di Stasiun Pasar Turi.Sisanya adalah Mba Ade dari Jakarta, Mba Amel dari Malang, Mas Danny, Mas Donny, Mas Dueng, Mas Jejah, Mas Gedex, Mas Hanafi, Mas Yosep, Mas Tantra, Mas Bayu, dan Mas Ronald yang semuanya dari Surabaya.
Pukul 10:30 semua anggota tim sudah
berkumpul, pukul 11:00 elf yang kami sewa meninggalkan stasiun Pasar
Turi dengan cara berputar keempat rodanya melalui sebuah mesin yang
menggerakan mereka. Tujuan kami adalah basecamp pendakian Argopuro di
desa Baderan, Situbondo. Setelah melalui perjalanan kurang lebih 6
jam yang diselingi makan siang, pukul 16.30 kami tiba di resort BKSDA
(Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Baderan. Proses registrasi
pendakian disini tidak terlalu sulit, hanya melapor nama-nama anggota
tim serta membayar biaya pendakian, total ber-15 kami membayar Rp.
80.000 padahal seharusnya Rp. 150.000 (@Rp. 15.000/orang) tapi
mungkin si bapa penjaga basecamp sedang baik hati atau mungkin uang
THR nya masih banyak, sehingga kami dapat diskon. Sebelum memulai
pendakian kami meminta untuk dicarikan 1 orang porter untuk penunjuk
jalan dan sekaligus meringankan berat bawaan kami. 15 menit menunggu,
porter yang akan kami sewa datang, dipindahkan-lah barang-barang kami
yang akan dibawa si bapa porter, kebanyakan adalah bahan makanan kami
selama 5 hari 4 malam kedepan. Semua telah selesai, dengan tidak lupa
diawali oleh doa.
Pukul 17:15. Dua belas pasang kaki
laki-laki dan tiga pasang kaki perempuan ditambah sepasang kaki
seorang porter, Bapak Ma'ruf mulai meniggalkan pos BKSDA Baderan.
Kami ber-enambelas memulai pendakian di Gunung Argopuro, tempat
persemayaman Dewi Rengganis.
Belum jauh melangkah, kami dihampiri
ibu-ibu paruh baya yang menyalami kami dan memberi isyarat, mungkin
ibu ini bisu, entahlah. Dia memberi isyarat dengan kedua tangannya.
“Menunjuk kepada saya (mungkin
maksudnya: Kamu!)”
“Menunjuk arah pendakian (disana)”
“Menempelkan kedua tangan di sebelah
pipi (tidur)
“Membelah dada(dibunuh?)”
Saya menangkap isyarat itu, maksudnya
“Kamu kalau tidur di sana nanti dibunuh”. Mungkinkah? Mungkin si
ibu ini cuma bercanda? Saya tidak tahu arti persisnya, tapi yang
jelas kami tetap meneruskan perjalanan. Wallahualam dengan isyarat si
ibu itu.
Menjelang gelap, jalur yang kami lewati
masih berupa perkebunan warga dengan medan yang cukup landai berupa
jalan setapak dari batu-batu yang sudah disusun. Malam mulai menyapa
ketika kami memasuki hutan. Bunyi tonggeret bersahutan disekeliling.
Selepas 1 jam memasuki hutan, kami beristirahat sejenak untuk makan
makanan yang sebelumnya sudah kami beli di warung sekitar kantor
BKSDA Baderan. Beberapa kawan makan satu bungkus nasi untuk berdua
dan beberapa lagi ada yang memutuskan untuk tidak makan dan lebih
memilih tidur sejenak. Mungkin mereka lelah, dan sayapun.
Nafas mulai terasa berat ketika hutan
yang kami lalui mulai menanjak setelah beristirahat tadi. Beberapa
kali kami beristirahat sejenak ketika menemui lahan yang landai.
Jalur terus bervariasi antara tanjakan dan jalur landai membelah
hutan sampai akhirnya sekitar pukul 10:00 kami tiba di “pintu
masuk” menuju alam Dewi Rengganis, dua buah pohon yang membentuk
huruf V terbalik, kira-kira begitu menurut beberapa catper yang saya baca.
Dari sini, 1 jam kemudian kami tiba di pos Mata Air 1, sebuah
dataran yang tidak terlalu luas dan sudah dipenuhi oleh pendaki lain
yang tiba lebih dahulu, akhirnya kami mendirikan tenda di jalur
pendakian yang juga sebenarnya sudah banyak berjajar tenda.
Sebuah kejadian tidak mengenakan
terjadi disini, frame tenda milik Mas Tantra patah ketika akan
disusun, itu artinya tenda berkurang satu. Dan tenda-tenda yang kami
bawa akan overcapacity, dan benar saja, tenda yang harusnya diisi 4
orang, kami isi 5 orang. Tenda yang harusnya diisi 3 orang, kami isi
4 orang. Tapi tak apalah, semakin rapat semakin hangat.
Kamis, 31 Juli 2014
Mata terbuka mengawali hari saya di
gunung dengan jalur terpanjang di pulau Jawa ini. Saya kemudian
keluar tenda untuk melamun sejenak di samping kawan-kawan lain yang
sedang sibuk akan masak. Setelah nyawa saya terkumpul semua, saya dan Mas Bayu mengambil air, mata air ada di sebelah kiri jalur pendakian,
turun ke bawah tidak terlalu jauh ada sebuah sungai kecil yang
jernih, disini kami mengisi beberapa botol air dan sekaligus
membersihkan diri,kemudian kami kembali ke pos Mata Air 1 untuk
membantu teman-teman yang lain yang sedang masak, saat itu saya
membantu menghabiskan kerupuk usus agar cepat habis. Sambil ngobrol
menunggu makanan matang kami menunggu masakan matang sambil
mengobrol. Setelah makanan matang, tentu saja kami makan, karena
lapar dan karena akan mubazir makanannya jika tidak dimakan.
Pos Mata Air 1
Pukul 10:30 kami melanjutkan perjalanan
mendaki Argopuro dengan tujuan selanjutnya adalah Cikasur. Cikasur
itu seperti tempat yang ada di mimpi saya dulu yang sering beberapa
kali saya mimpikan, sebuah savana luas dengan 1 pohon di
tengah-tengahnya. Tidak sabar rasanya melihat tempat yang ada dimimpi
dan akan terlihat langsung di depan mata. Maka sayapun langsung
bergegas melangkahkan kaki, jalurnya cukup menanjak memasuki hutan
yang tidak terlalu rapat, masih seperti jalur menuju pos mata air 1,
pukul 12:00 kami tiba di pos Mata Air 2, istirahat sejenak disini dan
mengisi persediaan air. Mata air 2 ada di sebelah camp ground, agak
turun ke bawah sekitar 5 menit.
Pukul 13.00 kami, yaitu saya, Mba Amel,
Mba Nora, Mas Hanafi, Mas Ronald, Mas Bayu, Mas Yosep dan Pa Ma'ruf
yang merupakan rombongan terkahir tiba di alun-alun kecil, sebuah
savana yang bagus tempat kami beristirahat sejenak sebelum kembali
melanjutkan perjalanan. Selepas Alun-Alun Kecil kembali memasuki
hutan, setelah berjalan kurang lebih 1,5 jam dengan jalur yang naik
turun lalu tiba di Alun-Alun Besar, kembali sebuah savana, tetapi
lebih besar dari savana kecil, disini kami kembali beristirahat
sambil menikmati keindahan panorama alam di sekitar. Ada sedikit
kejadian aneh di alun-alun besar ini, saya dan sebagian kawan
mendengar suara pesawat terbang, hal yang lazim tentunya, tapi ketika
menengok ke atas, tidak ada pesawat terbang, hanya ada suaranya saja,
padahal langitnya sedang cerah tanpa awan.
Melanjutkan perjalanan dari alun-alun
besar memasuki hutan dengan jalur yang cukup landai tetapi di hutan ini mulai banyak ditemui daun "jancukan" tanaman khas gunung Argopuro, konon jika kulit kita menyentuh dauin ini akan terasa panas seperti terbakar. Setelah keluar
hutan kembali sebuah savana, lalu masuk hutan lagi, setelah keluar
hutan kembali menemukan savana yang sangat luas, selepas keluar
hutan, camp Cikasur sudah terlihat, lumayan jauh, semakin dekat
dengan mimpi, saya lanjut berjalanan, berpisah dengan kawan-kawan
yang masih asyik berfoto di savana sebelum hutan terakhir.
Sebelum tiba di Cikasur, ada sebuah
sungai, jernih airnya dan ditumbuhi selada air yang bisa dimakan,
saya menyeberang sungai dengan agak susah karena beban yang berat,
sebenarnya ada jalur yang tidak melintasi sungai, tapi tak apalah
sudah terlanjur, tiba di seberang sungai jalur agak naik dan tidak
berapa lama tibalah di Cikasur pukul 16.30. “Dream comes true”,
tempat yang sangat indah, sebuah savana yang begitu luas, yang bagus,
yang sangat bagus, yang sangat bagus sekali.
Disini rombongan pertama yang tiba
terlebih dulu, sudah mendirikan tenda, baiknya mereka. Terima kasih.
Malam hari yang diselingi gerimis kecil kami habiskan dengan makan
masakan yang telah dimasak sampai matang dan juga tidak matang yaitu
bubur kacang ijo yang tidak pecah walaupun sudah dimasak sekitar 2
jam dan menghabiskan sekitar 2 botol gas hi-cook. Sisanya
ngobrol-ngobrol serta tidur dengan cara mata terpejam.
Jumat, 1 Agustus 2014
Terbangun dari tidur di pagi di Cikasur
itu sangat luar biasa, suara burung merak saling bersahutan dari
kejauhan, jika beruntung sebenarnya bisa saja dapat melihat langsung
burung meraknya, tetapi kami tidak melihatnya saat itu, kurang
beruntung.
Kami membersihkan alat masak dan
membersihkan diri di sungai setelah sebelumnya kami sarapan pagi dan
kemudian melanjutkan perjalanan. Tepat pada pukul 10:00 kami
meninggalkan Cikasur. Jalur agak menanjak, di sepanjang jalan ada
beberapa pohon besar yang tumbang yang lumayan menyulitkan, tapi
masih bisa terlewati. Jalur selepas Cikasur masih keluar masuk hutan
dan savana. Sekitar pukul 12:00 pos Cisentor sudah terlihat, disini
saya kehilangan kacamata yang biasa saya pakai karena pada saat itu
saya memegangya, tidak memakainya, entah kenapa bisa hilang, sampai
tidak terasa. Tapi ditemukan kembali oleh Mba Nora yang berjalan
tidak begitu jauh di belakang saya.
Pos Cisentor terletak di bawah dekat
sungai yang airnya tidak terlalu jernih, ada sebuah gubuk di pos
Cisentor ini, disini kami beristirahat makan mie puter, mie instan
yang dimakan dengan cara diputar estafet bergiliran. Menunjukan rasa
kebersamaan kami yang kuat.
Selesai beristirahat, kami melanjutkan
perjalanan, medannya masih berupa savana dan masuk hutan yang tidak
terlalu panjang sebelum tiba di Rawa Embik pada pukul 16:30. Disini
diadakan rapat dadakan apakah akan melanjutkan perjalanan ke Savana
Lonceng atau camp di Rawa Embik. Setelah melalui pertarungan ketat
selama 90 menit di lapangan hijau, ditambah 2x15 menit perpanjangan
waktu dan adu penalti maka diputuskanlah untuk lanjut ke Savana
Lonceng agar ke puncak lebih dekat dengan catatan membawa air
sebanyak-banyaknya dari Rawa Embik karena di Savana Lonceng sumber
air cukup jauh. Setelah persediaan air dikira mencukupi tepat pukul
17:00 kami mulai lagi melangkah, kali ini saya berjalan di baris
depan bersama dua kakak beradik, Mas Danny dan Mas Donny, Ma Jejah
dan juga Mas Munif (a.k.a Mas Dueng).
Hari menjelang gelap ketika kami
memasuki hutan tapi masih belum perlu menyalakan headlamp karena
masih terlihat, di tengah perjalanan ada sebuah “hutan mini”.
Sebuah hutan di tengah hutan, kumpulan bunga Edelweis yang pohonnya
cukup tinggi dinaungi pohon-pohon besar di sekelilingnya, jalur
pendakian pun berada di bawah-bawah bunga Edelweis tersebut. Kereeen!
Edelweis
Hutan Edelweis
Jalur menanjak cukup terjal ketika akan
keluar hutan, disini kami beristirahat sejenak. Jalur kembali
menanjak dengan vegetasi yang mulai terbuka dan kembali ada sebuah
savana, tidak terlalu jauh dari situ sudah berdiri beberapa tenda
yang menandakan bahwa kami sudah tiba di Savana Lonceng bersamaan
dengan datangnya gelap dan pukul 18:00, Savana Lonceng adalah sebuah
percabangan jalur antara Puncak Rengganis, Puncak Argopuro, Jalur
Baderan dan Jalur Bermi. Pa Ma'ruf, sang porter sudah menunggu di
depan api unggun yang dia buat. Pukul 19:00 anggota tim sudah tiba
semuanya, dan dengan selamat. Sebagian dari kami ada yang langsung
tidur, ada yang memasak, ada yang menghangatkan diri dekat api
unggun. Sungguh hari yang sangat lelah setelah menempuh perjalanan
selama 8-9 jam.
Savana Lonceng dengan latar Puncak Argopuro
Sabtu, 2 Agustus 2014
Pagi hari adalah ketika saya bangun
waktu itu. Pukul 06:00 semua anggota tim sudah bersiap ke Puncak
Rengganis, Puncak pertama yang akan kami kunjungi, hanya butuh 15
menit kami sudah tiba di “Istana Dewi Rengganis”, sebuah puncak
yang cukup berbeda dengan puncak-puncak lainnya. Reruntuhan bangunan
yang katanya merupakan bekas bangunan istana Dewi Rengganis menjadi
ciri khasnya, sangat unik.
Puncak Rengganis
Puncak Argopuro, sangat berbeda dengan
puncak disebelahnya, puncaknya dipenuhi pohon-pohon cemara. Hampir
tidak bisa melihat pemandangan sekitar di sini Dibutuhkan waktu yang
sedikit lama untuk mencapai puncak Argopuro, sekitar 25 menit dari
Savana Lonceng.
Puncak Argopuro
Sekembali dari puncak kami istirahat
untuk memulihkan tenaga, dan juga sarapan yang sebenarnya terlalu
siang. Pukul 12:00 kami meninggalkan Savana Lonceng, target
selanjutnya adalah Danau Taman Hidup. Estimasinya sebelum gelap semua
anggota tim harus sudah sampai di danau. Dari Savana Lonceng melewati
savana lalu melewati punggungan gunung, jalur terus menurun ketika
memasuki hutan lalu melewati padang ilalang yang sangat rapat sampai
tiba di sebuah sungai yang sudah mengering. Jalur agak menanjak
sedikit sebelum Cemoro Limo lalu kemudian kembali melewati punggungan
gunung sebelum memasuki hutan lumut. Hutan lumut adalah sebuah hutan
yang lebat, pohon-pohon disini batang dan rantingnya dipenuhi lumut,
mungkin usia pohon-pohon disini sudah ratusan atau bahkan ribuan
tahun. Di hutan lumut, kondisi cukup gelap, sinar matahari tidak bisa
menyentuh tanah di hutan ini, kecuali di beberapa bagian. Hutan ini
mirip dengan hutan-hutan para elf di novel fantasi. "A beautiful place
to lost."
Hutan Lumut
Menjelang tiba di danau Taman Hidup,
pohon-pohon sudah tidak berlumut lagi, dan sinar matahari mulai bisa
menyapa, ada beberapa pohon besar yang tumbang dan mulai banyak
percabangan jalan sampai pada akhirnya kami tiba di danau taman hidup
pukul 03:10. Saya tiba bersama mas Danny, Mas Dueng dan Mas Jejah.
Untuk mengambil air ataupun
membersihkan diri di danau Taman Hidup harus agak ke tengah dengan
cara meniti jembatan kayu yang tipis, karena pinggiran danaunya
berlumpur.
Tepat sebelum gelap semua anggota tim
sudah tiba di danau, sesuai dengan estimasi. Malam hari di danau
dihabiskan dengan bercengkrama menikmati suasana sejuk walaupun
langit tidak terlalu cerah ketika itu.
Minggu, 3 Agustus 2014
Pagi hari di danau banyak dihabiskan
untuk memasak, pesta, menghabiskan sisa logistik kami yang masih
melimpah. Semua anggota tim berperan dalam sesi memasak kali ini,
sebagian besar berperan mencicipi makanan, mungkin hanya Mas Danny
dan Mba Nora yang benar-benar memasak, sisanya hanya “memasak”,
termasuk saya.
Menjelang siang, kabut turun perlahan
menyentuh permukaan air danau, menunjukan wajah Taman Hidup yang
sebenarnya, begitu eksotis. Kesannya begitu mistis tapi tidak
menakutkan.
Hari semakin siang, dan kabutpun
semakin tebal. Pukul 12:00. Saya, Mas Dueng, Mas Jejah, Mas Tantra
berangkat terlebih dulu bersama Pak Ma'ruf, untuk sekalian mengantar
Pak Ma'ruf pulang, karena angkutan dari Bermi hanya ada sampai pukul
15:00. Jalur menuju Desa Bermi dari Danau Taman Hidup cukup jelas,
jalur ini sering dilalui warga sekitar untuk memancing di danau,
jalur ini pun bisa dilalui oleh motor. Jalur motor sedikit
berputar-putar tapi turunannya tidak terjal, sedangkan jalur pendaki
memotong kompas jalur motor sehingga sedikit terjal.
Perbatasan hutan dan perkebunan warga
Pukul 13:00 saya dan mas Tantra dan Pak
Ma'ruf sudah tiba di perbatasan hutan dan perkebunan warga, ditandai
oleh sebuah gubuk. Istirahat tidak terlalu lama disini, kami lalu
melanjutkan perjalanan ke Desa Bermi, melewati ladang perkebunan
warga dan rumah-rumah warga, tepat pukul 13:30 kami tiba di Desa
Bermi.
Disini kami berpisah dengan Pak Ma'ruf,
porter baik hati yang sudah membantu meringankan beban bawaan kami.
Terima kasih Pak Ma'ruf.
5 hari tidak mandi akhirnya terbalaskan
di desa Bermi, ada 2 kamar mandi umum disini, cukup bersih dan dingin
airnya. Badan kembali segar akhirnya. Pukul 15:30 semua anggota tim
sudah turun dengan selamat. Mengisi waktu menunggu elf yang akan
menjemput kami habiskan dengan makan di warung di Desa Bermi dan
santai-santai di depannya.
Selepas maghrib, elf jemputan sudah
tiba, kami meniggalkan Argopuro dengan segala kenangannya. Perjalanan
dari Bermi ke Surabaya dihabiskan dengan tidur karena kami semua
sudah kelelahan, tapi supirnya tidak tidur karena tidak boleh. Sampai
akhirnya secara tidak tiba-tiba kami tiba di Surabaya pada tengah
malam. Sedih rasanya harus berpisah dengan kawan-kawan yang
menyenangkan selama perjalanan. Tapi bagaimanapun itu adalah
kenangan, kebersamaan dan kekuatan. 5 hari 4 malam di alam bebas
adalah hal yang tidak mudah, tapi selalu ada tangan yang siap
merangkul, yang siap membimbing, yang siap menuntun, yang siap
berbagi. Bahwa dengan bersama segalanya terasa lebih berharga.
Argopuro lebih indah dari Semeru?
Hmm... Argopuro lebih eksotis dari Semeru, lebih unik, sepanjang
jalur pendakian banyak keragaman hayati yang disuguhkannya. Puncak
Rengganis dan Puncak Argopuro memang tidak menawarkan gumpalan awan
seperti gunung-gunung pada umumnya. Tapi Argopuro punya pesona
tersendiri yang sangat sulit dituliskan hanya dengan sekadar
kata-kata. Jika Semeru adalah permata yang sudah berubah menjadi
perhiasan, maka Argopuro adalah permata yang masih terpendam, jauh
dan sangat jauh di dalam perut bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar